Penulis oleh Muhammad Dimas Hidayatullah Wildan (Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Mataram) |
Dimensintb.com, Opini - Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah provinsi yang memiliki waktu Indonesia tengah yang memiliki banyak daerah wisata. Provinsi ini terdiri dari dua pulau utama, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, serta beberapa pulau kecil lain di sekitarnya, hal inilah yang membuat masyarakat provinsi NTB menjadi masyarakat multikultural.
Berbicara tentang masyarakat multikultural maka erat kaitannya dengan pluralisme. Pluralisme itu sendiri banyak macamnya seperti pluralisme agama, pluralisme budaya, pluralisme sosial, pluralisme politik, pluralisme ekonomi, pluralisme hukum, dan pluralisme lingkungan. Masyarakat NTB sudah terbiasa dengan semua bentuk pluralisme tersebut karena NTB dikenal dengan masyarkat yang hidup majemuk.
Walaupun NTB di sebut sebagai daerah yang memiliki nilai pluralisme yang tinggi tetapi tidak menjaga kemungkinan NTB bisa memiliki tantangan-tantangan dalam merawat pluralisme terutama berkaitan dengan agama.
NTB terdapat beberapa agama seperti Islam, Hindu, Budha, Keristen, Konghucu dan juga memiliki beberapa suku yakni suku Sasak untuk masyarkat Lombok, suku Samawa untuk masyarakat Sumbawa dan suku Mbojo untuk masyarkat Dompu dan Bima. Multikultural itulah yang terkadang bisa mendatangkan tantangan pluralisme di NTB.
Oleh karena itu tantangan pluralisme agama di NTB dapat kita petakan menjadi tiga persoalan: Pertama, Politik Identitas dan Politisasi Agama, salah satu tantangan utama dalam mewujudkan pluralisme agama di NTB adalah politik identitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, agama sering digunakan sebagai alat politik untuk meraih dukungan massa di NTB, meskipun sebagian besar penduduknya beragama Islam, kelompok-kelompok agama minoritas masih memiliki posisi yang penting dalam kehidupan sosial dan politik. Namun, dengan adanya politik identitas yang mengedepankan perbedaan agama, dapat muncul potensi untuk memperburuk hubungan antar kelompok agama.
Polarisasi politik berdasarkan agama dapat menimbulkan ketegangan antara kelompok agama mayoritas dan minoritas. Konflik sosial meskipun jarang terjadi dapat muncul ketika agama digunakan untuk tujuan politik yang sempit, sehingga merusak keharmonisan yang telah lama terjaga di NTB. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bersama bahwa politik harus didasarkan pada prinsip kebersamaan dan saling menghormati antar kelompok agama.
Kedua, Ekstrimisme Agama dan Intoleransi. Ekstrimisme dalam beragama merupakan tantangan yang semakin dirasakan di berbagai daerah, termasuk NTB. Kelompok-kelompok ekstrim ini seringkali menanamkan paham yang eksklusif terhadap agama mereka dan menganggap pemeluk agama lain sebagai pihak yang harus ditentang di NTB, meskipun tidak sebanyak di beberapa daerah lain, pengaruh ekstrimisme beragama tetap ada, terutama di kalangan pemuda.
Hal ini dapat memicu intoleransi terhadap pemeluk agama lain dan memperburuk hubungan antar kelompok agama. Penyebaran paham ekstrimisme melalui media sosial juga berpotensi memperburuk suasana toleransi yang sudah ada di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya moderasi beragama dan menanggulangi ekstrimisme melalui pendidikan dan penguatan nilai-nilai agama yang toleran.
Ketiga, Kesenjangan Sosial dan Ekonomi. Kesenjangan sosial dan ekonomi dapat memperburuk hubungan antar kelompok agama. Ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik sering kali menimbulkan ketidakpuasan, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperburuk hubungan antaragama. Ketika kelompok agama tertentu merasa terpinggirkan dalam aspek sosial dan ekonomi, hal ini dapat memicu ketegangan dan memperburuk situasi pluralisme agama.
Pembangunan yang merata, dengan memperhatikan keadilan sosial dan akses yang sama untuk semua kelompok agama, dapat mengurangi ketegangan yang ada. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan di NTB tidak hanya memprioritaskan satu kelompok, tetapi melibatkan semua pihak, tanpa memandang agama atau suku.
Terkait dengan tantangan pluralisme agama di NTB Malek Bennabi yang kita kenal sebagai seorang pemikir dan intelektual asal Aljazair yang terkenal dengan karya-karya filosofisnya seperti Islam sebagai penggerak perubahan sosial mengungkapkan bahwasanya pluralisme agama di dunia modern bukan hanya masalah keagamaan, tetapi juga tantangan budaya. Ia menyarankan bahwa untuk menghadapi pluralisme agama, masyarakat harus memiliki dasar yang kuat dalam membangun solidaritas sosial yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan dan kesetaraan.
Pendidikan sebagai Kunci Pembangunan Pluralisme Agama
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat pluralisme agama di NTB. Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, saling menghormati, dan kebersamaan sangat diperlukan agar generasi muda dapat tumbuh dengan pemahaman yang inklusif terhadap keberagaman. Pendidikan agama yang berbasis pada nilai-nilai moderat dapat membantu mengurangi potensi ketegangan yang timbul akibat pemahaman agama yang sempit.
Selain pendidikan formal di sekolah-sekolah, kegiatan lintas agama yang melibatkan interaksi antar pemeluk agama berbeda juga sangat diperlukan. Dialog antaragama yang melibatkan berbagai tokoh agama, pemuda, dan masyarakat umum dapat membuka ruang untuk saling memahami dan mengurangi prasangka terhadap kelompok agama lain.
Karena tujuan dari pendekatan pluralisme agama dalam pendidikan adalah untuk mempromosikan pemahaman, toleransi, dan penghargaan terhadap keragaman agama dalam masyarakat.
Memasukkan pendekatan pluralisme agama dalam sistem pendidikan menjadi penting karena pendidikan memiliki peran kunci dalam membentuk sikap, nilai, dan pemahaman yang berkaitan dengan toleransi antaragama. Dengan memperkenalkan pendekatan pluralisme agama dalam pendidikan, siswa dapat belajar untuk menghargai perbedaan agama, memahami nilai-nilai yang mendasari keyakinan orang lain, dan membangun keterampilan dialog antaragama. (Fathoni & Wijayanti, 2023).
Upaya Mewujudkan Pluralisme Agama di NTB
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam upaya mewujudkan pluralisme agama di NTB. Pertama, Dialog Antaragama, Dialog antaragama merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan pemahaman dan mengurangi ketegangan antar kelompok agama.
NTB, yang memiliki keberagaman agama, memerlukan forum-forum dialog yang dapat memfasilitasi pertukaran ide dan pandangan. Dialog antaragama ini tidak hanya terbatas pada pemuka agama, tetapi juga melibatkan masyarakat secara luas, terutama generasi muda. Hal ini penting untuk mengedukasi mereka tentang pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman agama.
Dalam upaya mewujudkan pluralisme agama Bennabi seorang tokoh filsafat mendorong adanya dialog antara agama-agama yang berbeda sebagai langkah untuk memahami satu sama lain dan menghindari konflik. Dialog antaragama ini, menurutnya, bisa membangun saling pengertian dan menghargai nilai-nilai yang ada dalam setiap agama, meskipun agama-agama tersebut memiliki ajaran yang berbeda.(Syihab, 2009).
Kedua, Penguatan Peran Lembaga Keagamaan, Lembaga keagamaan di NTB, seperti masjid, gereja, pura, dan vihara, memiliki peran yang sangat penting dalam mengajarkan nilai-nilai pluralisme. Melalui lembaga-lembaga ini, pemeluk agama dapat diajarkan untuk hidup dalam toleransi dan saling menghormati.
Peran lembaga keagamaan juga penting dalam menyebarkan pesan perdamaian dan menanggulangi radikalisasi dan ekstrimisme yang dapat merusak keharmonisan antar kelompok agama. sikap yang harus dibangun pada masing-masing umat beragama adalah sikap keterbukaan atau yang dikenal dengan sikap inklusif.
Sikap inklusif yang terbangun pada umat beragama akan melahirkan tipe umat beragama yang terang, saling menghargai dan menghormati serta menjunjung tinggi berbagai macam perbedaan.(Ruslan 2020)
Ketiga, Kebijakan Pemerintah yang Inklusif, Pemerintah daerah NTB harus mengambil langkah-langkah yang lebih inklusif dalam mengelola keberagaman agama.
Kebijakan yang memperhatikan hak-hak kelompok agama minoritas, serta memberikan ruang bagi kebebasan beragama, sangat penting dalam mewujudkan pluralisme agama yang sesungguhnya. Kebijakan ini juga harus mencakup pengawasan terhadap kegiatan yang dapat menimbulkan radikalisasi dan ekstrimisme, serta upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi antar kelompok agama.
Berbicara kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pluralisme Foucault pernah menggambarkan dalam konsep "bio-power" (bio-kekuasaan), yang merujuk pada cara kekuasaan modern beroperasi dengan mengatur kehidupan individu, baik dari aspek fisik (kesehatan, kebugaran) maupun sosial (pendidikan, pekerjaan, hak-hak sipil).
Dalam masyarakat yang multikultural, relasi antara agama dan bio-kekuasaan bisa sangat signifikan, misalnya, melalui kebijakan yang mempengaruhi kebebasan beragama atau pengaturan ajaran agama di ruang publik.
Salah satu contoh penting adalah bagaimana negara atau masyarakat mengelola pluralisme agama melalui regulasi seperti kebijakan imigrasi, undang-undang kebebasan beragama, atau bahkan keputusan politik tentang tempat ibadah atau simbol agama di ruang publik. Negara dapat mengatur itu semua dalam kebijakannya.
Keempat, Memelihara budaya sebagai kearifan lokal dalam mendukung pluralisme, semua orang hampir mengetahui bagaimana Masyarakat NTB yang memiliki nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan kepatutan dalam budaya sasambo (Sasak, Samawa Mbojo) yang mengajarkan penghormatan dan keterbukaan terhadap sesama.
Nilai-nilai ini dapat menjadi fondasi bagi penguatan pluralisme agama di NTB. Tradisi seperti "Gawe Beleq" (kerja sama dalam acara adat) pada suku sasak yang selalu melekat kepada seluruh lapisan masyarkat terutama dalam hal-hal acara kemasyarakatan, biasanya semua akan ikut membantu tak terkecuali yang berbeda keyakinan dengan dirinya mencerminkan kolaborasi lintas agama yang telah lama menjadi bagian dari masyarakat.
Termasuk budaya “Sakeco” dalam tradisi tau samawa (suku di sumbawa) yang menekankan kepada adanya kerjasama dan sikap saling menolong sebagai cerminan sebuah keseimbangan dalam kehidupan. Pada tahap inilah terdapat ciri khas tau samawa yang berbeda dengan komunitas lainnya. Atau budaya Raju di suku Mbojo sebagai pintu dialog dalam merawat harmoni di tengah keberagaman dalam beragama. (Aksa, 2023).
Terakhir sebagai sebuah kesimpulan bahwasanya pluralisme agama dalam masyarakat multikultural di NTB merupakan sebuah kenyataan yang harus dihargai dan dipertahankan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.
Keberagaman agama yang ada di NTB menjadi potret bagi daerah lain di Indonesia dalam mengelola keberagaman agama, jangan sampai pluralisme yang telah susah payah dibangun akan rusak karena tidak mampu menjadikan perbedaan sebagai Rahmat tuhan yang maha kuasa tapi perbedaan dan keberagaman ini harus di jaga dan dikelola oleh semua elemen masyarakat Nusa Tenggara Barat.(*)
Comments
Post a Comment