Penulis oleh:
Muhammad Dimas Hidayatullah Wildan (Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Mataram)

Dimensintb.com, Opini - Nusa Tenggara Barat (NTB), sebuah provinsi yang terletak di Indonesia bagian tengah, merupakan daerah yang kaya akan keberagaman agama, budaya, dan suku bangsa. Mayoritas penduduk NTB menganut agama Islam, namun terdapat pula beberapa kelompok yang memeluk agama Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama tradisional. 

Keberagaman ini menjadikan NTB sebagai miniatur dari Indonesia yang multikultural. Dalam konteks ini, pluralisme agama menjadi sangat relevan, karena mengharuskan adanya pengakuan terhadap eksistensi dan keberagaman keyakinan yang hidup berdampingan dalam masyarakat. 

Dalam kehidupan dunia tidak bisa dibantah bahwa manusia mempunyai keragaman dalam berbagai hal, artinya bukan hanya keragaman agama dan bangsa namun juga keragaman budaya, etnis, gaya hidup, profesi dan lain-lain yang biasa disebut dengan Multikultural. Multikultural adalah respon terhadap realitas, di mana masyarakat selalu menjadi plural dan tidak monolitik. 

Keanekaragaman membawa perbedaan dan dapat berujung pada konflik. Namun, bukan berarti bahwa konflik selalu disebabkan perbedaan. Dari sudut pandang agama, keragaman keyakinan, budaya, dan pandangan hidup penting untuk diangkat kembali mengingat penganut agama-agama di Indonesia masih awam sehingga rawan konflik dan kekerasan.

Pluralisme agama bukan hanya sekadar toleransi terhadap perbedaan, tetapi juga mencakup pengakuan dan penghargaan terhadap berbagai keyakinan agama yang ada di NTB, meskipun dalam banyak hal masyarakatnya hidup berdampingan secara damai, tantangan dalam mempertahankan keharmonisan di tengah keberagaman agama masih tetap ada apalagi kalau pemicunya adalah hal-hal kecil tapi di bungkus dengan agama dan keyakinan maka ini akan mudah merapuhkan keharmonisan kehidupan sosial masyarakat NTB. 

Oleh karenanya tulisan ini mencoba mengopinikan bagaimana pluralisme agama berperan dalam masyarakat multikultural di NTB.


Konsep Pluralisme Agama 

Pluralisme agama adalah pandangan yang mengakui bahwa setiap agama memiliki kebenaran dan hak untuk hidup secara berdampingan di tengah masyarakat yang majemuk. Pluralisme agama merujuk pada sikap saling menghormati dan menerima keberadaan berbagai agama di suatu masyarakat. 

Konsep ini lebih dari sekadar toleransi, karena mengharuskan setiap individu untuk menghormati dan menerima perbedaan agama dengan terbuka, serta meyakini bahwa keberagaman ini memperkaya kehidupan sosial. Dalam perspektif Indonesia, pluralisme agama juga dipengaruhi oleh Pancasila sebagai dasar negara yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan pengakuan terhadap perbedaan. (Kymlicka, 1995).

Menurut Syafi’I Anwar, bahwasanya ada dua arus paradigma keberagamaan orang di Indonesia yang di dalamnya ada Nusa Tenggara Barat. 

Pertama, Paradigma praktik keberagamaan substantif-inklusif. Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif-inklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik. 

Adapun ciri-ciri yang menonjol pada pemikiran substantif-inklusif ada empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. 

Argumen utama dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa umat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain. (Anwar, 2006).

Kedua, Paradigma praktik keberagamaan legal-eksklusif yang memiliki ciri seperti, 1). sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini di desain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. 2). 

Dalam realitas politik, pendukung paradigma legal-eksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam. 3). Para pendukung paradigma legal-eksklusif ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. (Anwar, 2006).

Sedangkan di NTB, pluralisme agama terwujud dalam berbagai bentuk kehidupan sosial dan budaya. Masyarakat NTB terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Sasak, Samawa, dan Mbojo, yang masing-masing memiliki tradisi agama dan kepercayaan yang berbeda. Keberagaman agama ini sering kali menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, mulai dari perayaan keagamaan, upacara adat, hingga interaksi sosial yang mengutamakan prinsip gotong royong dan saling menghormati.


Keberagaman Agama dan Budaya pada Masyarakat NTB

NTB memiliki lebih dari 5 juta penduduk, yang mayoritas beragama Islam. Namun, di balik dominasi agama Islam, terdapat juga kelompok-kelompok minoritas yang memeluk agama Kristen, Hindu, dan Buddha. Keberagaman ini memberikan tantangan tersendiri dalam hal pengelolaan hubungan antaragama. Selain itu, keberagaman ini juga memperkaya aspek budaya, karena setiap agama dan kepercayaan membawa tradisi dan adat istiadatnya masing-masing. (BPS NTB 2023).

Sebagai contoh, agama Islam dengan budaya Sasak, Samawa dan Mbojo memiliki banyak tradisi khas yang berbeda dengan tradisi Kristen, Hindu, Budha, ataupun Konghucu yang ada di NTB. Namun, meskipun perbedaan ini ada, masyarakat NTB dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan toleran. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dari berbagai agama seringkali bekerja sama dalam berbagai aktivitas sosial dan ekonomi, seperti gotong royong dalam pembangunan, perayaan hari besar agama, atau dalam membantu sesama yang membutuhkan. Ini menunjukkan bahwa nilai pluralisme agama sudah tertanam dalam budaya NTB.

Namun, keberagaman agama ini juga menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar daerah. Beberapa dinamika sosial dan politik di NTB seringkali mempengaruhi hubungan antaragama. Politisasi agama dan radikalisasi, meskipun belum sebesar di beberapa daerah lain di Indonesia, tetap menjadi tantangan yang harus diwaspadai. Oleh karena itu, penting untuk terus mengedepankan nilai-nilai pluralisme agama dalam setiap kebijakan publik dan program pendidikan yang ada hal ini harus di kuatkan dengan pengetahuan-pengetahuan agama yang kuat.

Dalam pandanga Foucault pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral atau objektif, melainkan selalu dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pluralisme agama, karena Foucault melihat bagaimana pengetahuan agama baik itu teks-teks suci, interpretasi ajaran agama, atau kebijakan terkait agama selalu terjalin dengan kekuasaan. Pengetahuan agama seringkali dibentuk oleh kekuatan politik dan sosial yang dominan. Misalnya, agama tertentu bisa saja diprioritaskan dalam pendidikan atau media, sementara agama lain bisa terpinggirkan atau dipersepsikan sebagai ancaman.

Sementara kekuasaan dalam masyarakat multikultural seringkali diwujudkan dalam cara agama-agama tertentu diperlakukan oleh negara atau oleh kelompok dominan dalam masyarakat. Dalam hal ini, agama tidak hanya menjadi tempat pencarian kebenaran spiritual tetapi juga karena pertempuran kekuasaan yang dapat mempengaruhi status sosial dan hak-hak individu atau kelompok. (Hidayah, 2023)

Berdasarkan pandangan Foucault di atas bahwasanya pemerintah Indonesia maupun pemerintah daerah terutama di NTB memiliki peran penting dalam menciptakan pluralisme dalam masyarakat multikultural di Nusa Tenggara Barat.

Dengan demikian kita dapat simpulkan bahwasanya pluralisme agama dalam masyarakat multi kultural di Nusa Tenggara barat akan senantiasa terjaga sampai kapanpun jika semua para pemeluk agama senantiasa menerima perbedaan yang ada dalam beragama.

Sedangkan dengan perbedaan yang ada mencari titik kesamaan dalam kehidupan sosial entah itu sama-sama sebagi warga negara Indonesia, sama-sama memiliki hak dan kewajiban merawat kemanusian, ataupun sama-sama memiliki hak untuk meningkatan keimanan masing-masing sebagai umat beragama.

Jika hal demikian selalu kita tanamkan dalam diri kita masing-masing sebagai warga Nusa Tenggara Barat maka selamanya pluralisme agama akan senantiasa terjaga di tanah Bumi Gora ini sebagai Masyarakat Multi Kultural.(*)