(foto/istimewa) |
Dimensintb.com, Jakarta - Di tengah meningkatnya perhatian terhadap kebijakan kemasan rokok standar atau polos di Indonesia, beredar berbagai informasi yang kurang akurat yang menimbulkan multi interpretasi dan kekhawatiran pada beberapa pihak.
Salah satu informasi yang beredar adalah tentang aspek pengawasan cukai, di mana kemasan standar/polos dianggap dapat menyebabkan penegak hukum kesulitan dalam mengawasi produk karena tidak ada informasi mengenai jenis dan jumlah batang rokok dalam kemasan.
Namun, apakah kekhawatiran ini perlu?Diskusi yang digelar oleh Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) pada Selasa, (08/10), memberikan klarifikasi dan menjawab beberapa isu antara lain definisi dan adakah beda istilah kemasan polos (plain packaging) dan kemasan standar (standardized packaging), apa saja ketentuan kemasan standar (does & don’t) dan tujuannya.
Diskusi ini juga membahas tantangan yang akan dihadapi dan putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap tantangan tersebut. Pada akhir sesi dibahas pengalaman negara lain yang telah berhasil menerapkan kebijakan ini, termasuk Australia yang menjadi pionir dalam mengadopsi kemasan polos. Tercatat sampai saat ini ada 25 negara yang sudah menerapkan kebijakan kemasan rokok polos/standar.
Dalam rilis yang diterima media ini, Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto, menekankan bahwa penerapan kebijakan kemasan rokok standar sama sekali tidak akan menyulitkan aspek pengawasan. Kemasan rokok standar/polos tetap dapat menyertakan informasi penting seperti golongan dan jumlah batang rokok dalam kemasan.
Selain itu, kemasan standar juga menyertakan nama merek dan nama produk (tanpa logo dan citra merek) yang ditulis dengan jenis font standar, sehingga semua informasi untuk keperluan pengawasan tetap ada.
“Kemasan rokok standar/polos itu bukan berarti semua akan menjadi polos atau menjadi warna putih, sama sekali tidak. Di negara manapun yang menerapkan kemasan rokok standar/polos, tidak ada kemasan yang warnanya putih polos, dan semua informasi untuk keperluan pengawasan tetap ada. Jadi, kebijakan ini tidak akan mengganggu pengawasan terhadap cukai atau regulasi produk tembakau” jelasnya
Namun, ia mengungkapkan bahwa masih banyak informasi yang salah yang sengaja disebarluaskan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama dari industri tembakau.
"Standardisasi kemasan tembakau bukanlah sekadar mengubah tampilan kemasan, melainkan strategi yang berbasis bukti untuk menurunkan daya tarik produk, tembakau bagi kaum muda," katanya seraya Menyangkan, industri tembakau sering menyebarkan misinformasi bahwa kebijakan ini akan merugikan pedagang ritel dan meningkatkan rokok ilegal, padahal terbukti di berbagai negara kebijakan ini tidak ada hubungannya dengan penurunan pendapatan ritel dan peningkatan rokok ilegal.
Bigwanto tambahkan, selama ini kemasan rokok sering dijadikan alat promosi oleh industri, dijadikan mini billboard. Bahkan, kemasan bagian dalam juga tidak luput dari promosi industri. Oleh karena itu, RUKKI mendukung penuh rencana pemerintah dalam menerapkan kebijakan kemasan rokok standar sesuai dengan amanat PP Kesehatan No. 28 tahun 2024.
"Kebijakan ini adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk melindungi generasi muda dari bahaya yang disebabkan oleh produk tembakau bagi kesehatan.” jelasnya
Sementara Tubagus Haryo Karbyanto, Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, menyampaikan kilas balik mengenai upaya Australia di WTO dalam menghadapi gugatan 4 industri rokok di dalam negeri (British American Tobacco, Philip Morris, Imperial Tobacco, dan Japan Tobacco International).
Selain itu juga serta 5 negara yaitu Ukraina, Honduras, Republik Dominika, Kuba, dan Indonesia yang membawa kasus ini ke WTO.
"Pada waktu itu, negara-negara yang menggugat, termasuk Indonesia, berpendapat bahwa kebijakan kemasan standar/polos melanggar hak atas kekayaan intelektual dan menghambat perdagangan bebas. Namun, WTO memutuskan bahwa kebijakan Australia sah dan sejalan dengan tujuan kesehatan masyarakat untuk melindungi warga dari bahaya tembakau," ungkapnya.
Pelanggaran hak kekayaan intelektual terjadi ketika ada pihak lain yang menggunakan logo atau merek yang sudah didaftarkan. Penerapan kebijakan kemasan standar/polos tidak berarti pemerintah mengambil alih kekayaan intelektual milik industri. Industri masih memiliki hak penuh atas logo dan merek yang mereka daftarkan; hanya saja tidak dapat digunakan sebagai alat pemasaran pada kemasan rokok.
Lebih lanjut, ia jelaskan bahwa kemenangan ini membuka jalan bagi negara-negara lain untuk mengadopsi kebijakan serupa tanpa khawatir menghadapi tantangan hukum internasional. "Keputusan WTO tersebut menggarisbawahi pentingnya mempertahankan kebijakan kesehatan publik di atas kepentingan komersial,” tambahnya.
Kebijakan kemasan polos di Australia telah berhasil menurunkan konsumsi tembakau, terutama di kalangan perokok muda pada empat tahun pengamatan (15,7% pada tahun 2010, 13,4% pada tahun 2013, 11,6% pada tahun 2016, dan 9,2% pada tahun 2019), hingga menjadi model bagi banyak negara lain di dunia.
Indonesia perlu mengambil langkah lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakan pengendalian tembakau yang efektif, termasuk standardisasi kemasan. Pengalaman Australia dapat menjadi contoh nyata bahwa kebijakan ini tidak hanya sah di mata hukum internasional, tetapi juga berdampak signifikan dalam mengurangi konsumsi tembakau pada anak dan remaja.(*)
Comments
Post a Comment