Penulis oleh : Dr. Maharani
                          Peneliti Lombok Research Center (LRC)

Dimensintb.com - Hiruk pikuk pemilihan kepala Daerah (Pilkada) serentak sudah terasa sejak awal tahun lalu. Pun begitu di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan semua Kabupaten Kota di NTB. Sepanjang jalan kita akan menemukan gambar calon yang akan berlaga pada pesta pemilihan kepala daerah tersebut. 

Tidak hanya gambar, beberapa calon dan pasangan calon kepala daerah pun sudah berani menampilkan dan menunjukkan jargon dan visi misi mereka. Mulai dari Lanjutkan NTB Gemilang, Jilbab Ijo, NTB Mendunia, Lotim Maju dan Harmonis, Lotim Solah Sholeh, Maik Meres Jilid II, Ramah, Mataram Harum, Jalan Baru Lombok Barat, Lombok Barat Manis, Angin Perubahan Bima Berdikari dan berbagai macam jargon disuguhkan untuk menarik simpati pemilih dan masyarakat.

Kontestasi pada tahun ini memang cukup menarik, baik dari sisi pelaksanaannya yang serentak maupun dari waktunya yang sangat berdekatan dengan pemilihan umum legislative dan pemilihan presiden. Sehingga secara tidak langsung suasana, model karakter pemilih juga akan terpengaruh dengan pemilihan legislative dan pemilihan presiden yang lalu.

Pemilihan kepala daerah pada tahun 2024 ini bisa dikatakan cukup kompleks. Kompleksitas tersebut dikarenakan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak direvisi, Artinya Pemilu 2024 masih menggunakan undang undang yang sama. Ketentuan mengenai Undang-Undang Pemilu tadi dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa aturan operasional di tingkat kelembagaan penyelenggaranya, utamanya adalah melalui peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Per Bawaslu). 

Pemerintah sudah mengatur undang-undang terkait perlindungan hak politik terhadap kelompok rentan untuk ikut serta dalam menyalurkan hak politik melalui proses Pemilu diantaranya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta lebih eksplisit lagi telah ditegaskan dalam dalam Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) undang undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan undang undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Peraturan hukum tersebut menunjukan bahwa peranan pemerintah dalam melindungi dan menjamin hak politik bagi seluruh warga negara sudah menjadi perhatian serius, walaupun dalam perjalanannya masih terdapat masalah terutama dalam pemenuhan hak dan penyaluran hak politik kelompok rentan tersebut.

Inklusi dan demokrasi merupakan pilar yang saling menyangga pelaksanaan pemerintahan yang berorientasi bagi kepentingan bersama masyarakat. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Lombok Research Center (LRC) menunjukkan masih minimnya upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak kelompok masyarakat rentan, selain itu keterlibatan masyarakat rentan dalam pembangunan pun masih sangat terbatas. Adanya berbagai produk hukum diskriminatif terhadap kelompok masyarakat rentan terutama masyarakat miskin, disabilitas, kelompok masyarakat dengan aliran kepercayaan, masyarakat adat, hingga perempuan menunjukkan bahwa isu-isu kelompok masyarakat rentan ini masih belum diketengahkan sebagai isu bersama dalam agenda pembangunan. 

Kesempatan dan ruang-ruang yang diberikan kepada kelompok rentan dalam proses pembangunan daerah, baik pada tahap perencanaan, pembahasan, hingga evaluasi belum sepenuhnya maksimal. Dalam konteks momentum teknokratis, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2025-2029, yang akan diturunkan dari Visi Misi dari calon Kepala Daerah nantinya pun belum terlihat keberpihakan calon kepala daerah terhadap masyarakat rentan ini.

Selain momentum teknokratis, pesta demokrasi Pilkada serentak 2024 juga menjadi momentum yang tepat memperluas diskursus gagasan dan agenda pembangunan inklusif dengan memperluas keterlibatan kelompok rentan dalam agenda pembangunan daerah melalui proses perencanaan yang partisipatif, memastikan agar produk hukum daerah yang dibuat berpihak pada perlindungan kelompok minoritas dan rentan. Agenda pembangunan Inklusif bukan hanya tertuang dalam visi dan misi para calon kepala daerah, seharusnya juga di urai lebih rinci lagi ke dalam RPJMD nantinya ketika para calon itu terpilih.

Dalam sistem kedaulatan Masyarakat, kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan Masyarakat negara itu sendiri. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mendasarkan kekuasaannya pada Masyarakat. Dalam sistem ini Masyarakat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka dan menentukan arah kebijakan Negara pun dalam konteks pemilihan kepala daerah. Keputusan keputusan penting dibuat melalui proses yang Partisipatif dan inklusif, dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh Masyarakat. Istilah khusus yang muncul dalam konteks ini adalah Kekuasaan itu dari Masyarakat, oleh Masyarakat dan untuk Masyarakat. Dalam sistem Participatory Democracy, dikembangkan pula tambahan bersama Masyarakat, sehingga berubah menjadi kekuasaan pemerintahan itu berasal dari Masyarakat, untuk Masyarakat, oleh Masyarakat dan bersama Masyarakat. Yang mana hal ini dapat diartikan bahwa, kekuasaan itu pada dasarnya diakui berasal dari Masyarakat itu sendiri, dan karena itu Masyarakat lah yang sebenarnya dapat menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan itu sendiri.

Kedepannya, dari pemetaan hasil kajian tantangan yang dihadapi dalam pemilihan kepala daerah di NTB, supaya pembangunan yang inklusif bisa berjalan perlu ditindaklanjuti bersama oleh calon kepala daerah diantaranya; Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas ruang-ruang dialog yang konstruktif antara kelompok rentan dengan calon kepala daerah yang berlaga agar dalam pembahasan agenda-agenda pembangunan daerah terutama yang tertuang dalam VIsi Misi calon lebih mendengarkan kontek pembangunan yang melibatkan masyarakat rentan didalamnya. Mengintensifkan komunikasi dengan aktor-aktor politik untuk menyalurkan aspirasi kelompok rentan. Dan Memperkuat sinergi dan kolaborasi seluruh elemen masyarakat sipil dan media dalam mengklarifikasi aspirasi dan kebutuhan kelompok rentan.

Dalam konteks Pemilu inklusif, kelompok rentan bukan hanya digeneralisasikan terhadap kelompok penyandang disabilitas dikarenakan ada beberapa kelompok masyarakat yang dianggap rentan diantaranya kelompok perempuan, lansia, kelompok masyarakat adat dan juga kelompok masyarakat yang termarjinalkan, hal ini juga sesuai dengan penjelasan pada Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, demikian halnya dengan ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kelompok rentan sering disebut sebagai kelompok yang tidak dapat menolong dirinya sendiri atau kelompok yang rawan terhadap diskriminasi, kelompok masyarakat adat merupakan kelompok yang rentan kesulitan menyalurkan hak politik dan mendapatkan jaminan penyaluran hak politik dari stakeholder dan hal tersebut yang mengakibatkan kelompok masyarakat adat tidak dapat berpartisipasi menyalurkan hak politiknya dalam proses Pemilu ataupun Pemilihan kepala daerah, beberapa faktor yang mengakibatkan kealpaan masyarakat adat dalam menyalurkan hak politiknya karena kesulitan mendapatkan pelayanan adminstrasi kependudukan dalam membuat kartu identitas KTP-el yang proses pembuatannya masih kurang inklusif. Esensi demokrasi adalah mendorong partisipasi politik dari masyarakat yang memenuhi syarat, karena dalam sistem demokrasi tentunya kesetaraan hak dan kesamaan kesempatan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi hal yang fundamental. 

Untuk memastikan penyelenggaraan pilkada di NTB berjalan dengan umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tidak semudah dalam koridor normatif, secara empiris adalah merupakan sarana perebutan kekuasaan secara sah dan konstitusional yang dilaksanakan secara damai dengan penuh kesadaran namun diperlukan berbagai upaya dan strategi untuk memenangi terhadap hasil pemilihan, keberadaan badan pengawas dan komisi pemilihan umum yang independen (mandiri) saja tidak cukup tanpa pelibatan partisipasi masyarakat sehingga harus disadari partisipasi pemilih dalam pengawasan menjadi isu penting karena sebagai pemegang kedaulatan atas hak pilih.

Berdasarkan optik teoritik dan praktik ketatanegaraan kontemporer, kehadiran Pemilu yang bebas dan adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Esensi bebas dan adil tersebut terletak pada kualitas Pemilu yang mana sebagai klaim demokrasi yang mencerminkan peran serta masyarakat sebagai pemilih sekaligus subjek dalam pelaksanaan Pemilu. Idealnya masyarakat tidak hanya sekedar menggunakan hak pilih, namun berpartisipasi aktif mengawasi jalannya Pemilu, termasuk memastikan pelaksanaannya berlangsung sesuai dengan aturan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Semoga pemimpin yang dihasilkan di NTB mampu menyerap apa kebutuhan masyarakat NTB. Tidak hanya mengedepankan sahwat pembangunan sesuai keinginan, namun sesuai dengan potensi dan kebutuhan yang ada. Ini semua demi masyarakat NTB dan pembangunan NTB yang lebih Inklusif.(*)